Saat itu aku hanyalah seorang yang berjiwa kosong. Tak berniat untuk merubah ataupun pergi dari zona itu. Tak pernah terpikirkan, bahwasanya aku dulu pernah terjebak dalam lorong gelap. Hanya sendiri. Tak memiliki teman dan selalu diasingkan. Gambaran itu kembali terngiang saat jemari-jemariku menekan per huruf pada layar untuk membentuk suatu karya sederhana.
Dulu, aku hanyalah seorang introvert. Menjadi korban bullying. Menjadi bahan tertawaan saat aku mencoba benar-benar mengubah segala hal pada diriku. Riuhku benar-benar pudar. Sekali waktu pernah terbesit, untuk apa aku hidup? Kehidupanku hanya dipenuhi abu-abu. Sulit rasanya berekspresi pada ribuan wajah yang menghampiri.
Apa arti teman sebenarnya?
Selalu saja setiap malam membayangkan bagaimana rasanya memiliki teman. Bagaimana rasanya berbagi rasa luka? Bagaimana ya? Selalu saja alurnya bertemu, berjanji, dan tak kembali. Puncaknya saat aku menginjak sekolah dasar. Menjadi orang yang tak berdaya saat dimanfaatkan. Setiap kali berada di ruangan itu, aku hanyalah orang baru yang apa-apa harus sendiri.
Kala itu, waktu mengajarkanku bahwa tidak ada pertemanan yang benar benar murni.
Hingga pada akhir tahun, semua tidak lagi sama. Semesta mengizinkanku untuk bertemu. dengan duniaku. Mencampurkan berbagai warna agar terlihat indah dan tak akan pudar. Menutup cerita yang dipenuhi berbagai sandiwara dan menggantikan dengan kisah kisah yang selalu bermakna.
Aku tahu, hal ini pasti akan terjadi. Namun tak pernah terbayangkan bahwa aku akan secepat ini merasakannya.
Aku memang hanyalah manusia pendosa, namun bukankah semua bisa kembali merapikan segala hal agar lebih baik?
Kali ini,
Aku pendosa, bukan siapa-siapa
Tidak mengharap mereka yang ada
Cukup berjumpa kala pijak berbeda
Untuk jiwa dalam ragaku,
Akan ada ego yang sulit dihindari
Amarah menyeruak setingkat lagi
Dengarkan aku
Ringkaslah se-sederhana
Diamkan seperlunya
Bereskan sesingkatnya
Sepotong puisi, untuk diriku yang saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar